ODISEI - BUKU KETIGA SIRENS DAN MONSTER LAUT Ditulis oleh MARY POPE OSBORNE Digambar oleh TROY HOWELL Teks Copyright © 2004 by Mary Pope Osborne Artwork Copyright © 2004 by Troy Howell Diterjemahkan dari Sirens and Sea Monster, karangan Mary Pope Osborne, terbitan Hyperion, New York: 2004 Hak terjemahan Indonesia pada Serambi Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit Penerjemah: Santi Paramitta Penyunting: Ferry Halim Pewajah Isi: Siti PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jln. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta 12730 www.serambi.co.id; info@serambi.co.id Cetakan I: Oktober 2006 M ISBN: 979-1112-02-9 Dicetak oleh Percetakan PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta Isi diluar tanggung jawab percetakan Untuk Ken Whelan PENGANTAR Pada zaman dahulu kala, ada sebuah dunia misterius yang dikenal dengan nama Gunung Olimpus. Dunia yang tersembunyi di belakang sekumpulan awan tebal ini tak pernah tertiup angin ataupun terguyur hujan. Para penghuni Gunung Olimpus tidak pernah menjadi tua ataupun mati. Mereka bukan manusia. Mereka adalah para dewa dan dewi Yunani yang perkasa. Para dewa dan dewi Olimpus memiliki pengaruh besar atas kehidupan umat manusia di dunia. Pada suatu ketika, kemarahan para dewa dan dewi ini menyebabkan seorang pria bernama Odiseus harus berkelana di lautan selama bertahun-tahun hanya untuk menemukan jalan pulang. Tiga ribu tahun yang lalu, untuk pertama kalinya, seorang penyair Yunani bernama Homer menceritakan kisah perjalanan Odiseus. Sejak saat itu, para pendongeng lain turut menceritakan kembali kisah perjalanan yang ajaib dan mengesankan tersebut. Kisah perjalanan tersebut dikenal sebagai Odisei. SATU NEGERI ORANG HIDUP Ribuan hantu yang meratap bergerak mendekati Odiseus. Ratapan mereka bergema dalam kabut. Odiseus dan anak buahnya mulai berlari. Mereka lari untuk menyelamatkan diri, lepas dari orang-orang mati itu.... "Ada daratan di depan!" seru salah seorang anak buah Odiseus. Kemudian, Odiseus terbangun dari mimpi buruknya. Ia tertidur di geladak kapal. Ia bermimpi tentang kunjungannya ke Negeri Orang Mati yang dikuasai oleh Hades dan Persefone. Sekarang, ia dapat melihat pulau milik Circe, sang penyihir, di kejauhan. Aku akan katakan pada Circe apa yang telah kulihat dan kudengar di Negeri Orang Mati, pikirnya. Aku yakin ia akan membantuku pulang ke Ithaca. Selama dua belas tahun yang panjang, Odiseus sangat memimpikan untuk dapat pulang ke Pulau Ithaca di Yunani dan bersatu kembali dengan istri dan anaknya yang tercinta. Ia dan anak buahnya telah bertempur dalam Perang Troya. Mereka telah bertarung melawan Cyclops, si monster bermata satu. Mereka berhasil menyelamatkan diri dari raksasa pemakan manusia dan kehilangan seluruh armada, kecuali kapal hitam yang sedang dinaikinya. Odiseus juga berhasil menaklukkan Penyihir Circe yang cerdik. Ia beserta anak buahnya berhasil pergi dan pulang dari Negeri Orang Mati dengan selamat. Sebelumnya, tidak ada satu manusia pun yang dapat kembali hidup-hidup dari tempat itu. Saat berlayar kembali menuju pulau milik Circe yang diterangi sinar matahari, para orang Yunani bersorak gembira. Pulau itu tertutup oleh hutan yang indah menghijau dan dikelilingi pantai yang berbatu. Burung-burung sedang berkicau di atas pepohonan ketika mereka berlabuh. Saat matahari terbenam, mereka semua berjalan terseret-seret menuju pantai. Kelelahan yang luar biasa menyerang. Setiap orang roboh ke atas pasir dan terlalu lelah untuk bicara. Sambil berbaring di pantai, Odiseus menatap bulan dan bintang-bintang. Ia berusaha tidak mengingat Negeri Orang Mati. Ia merasakan tiupan angin lembut dan mendengar suara ombak yang menyapu pantai. Dunia orang hidup memang tempat yang luar biasa. Saat cahaya fajar berwarna kemerahan menyebar ke seluruh penjuru pulau, Odiseus membuka matanya. Ia melihat Circe muncul dari istananya. Ia mengenakan gaun indah berwarna pelangi. Di tengah-tengah udara pagi yang segar, para pelayan mengikuti di belakang sambil membawa nampan penuh berisi daging, roti, dan anggur. Odiseus segera melompat berdiri dan membangunkan anak buahnya. Kemudian dengan tergesa-gesa, ia menyapa wanita itu. Meskipun dulu pernah mencoba mencelakainya dan anak buahnya, sekarang penyihir itu telah menjadi teman dan pelindung mereka. "Salam!" Odiseus berseru. "Selamat datang, teman-temanku yang gagah berani!" kata Circe sambil tersenyum. "Kalian telah melakukan hal yang belum pernah dilakukan oleh manusia lain-pergi ke Negeri Orang Mati dan berhasil kembali dengan selamat. Bila kalian mati nanti, orang lain akan mengatakan bahwa kalian telah mati dua kali." "Ya, dan kami sangat berterima kasih pada para dewa karena kami berhasil kembali ke pulau ini dengan selamat," kata Odiseus. "Sekarang, kami harap kau mau membantu kami menemukan jalan pulang ke Ithaca." "Aku pasti akan membantu," kata Circe. "Tapi sekarang kalian harus beristirahat karena telah menempuh perjalanan yang berat dan panjang. Minum dan berpestalah untuk merayakan kepulangan kalian. Lalu, esok hari ketika fajar menyingsing, kalian akan berlayar pulang ke Ithaca." Orang-orang Yunani itu bersorak. Mereka kelaparan dan kehausan. Mereka juga sangat gembira karena bisa melewatkan satu hari ditemani Circe beserta pelayan-pelayannya yang cantik. Sepanjang pagi dan siang, Odiseus beserta anak buahnya berpesta dan minum anggur. Ketika akhirnya matahari terbenam dan kegelapan menyelimuti pulau, mereka berbaring di dalam kapal dan segera jatuh tertidur. Odiseus sendiri tidak bisa tidur. Circe menggandeng tangannya dan mengajaknya ke hutan yang diterangi sinar bulan. Mereka duduk bersama di bawah bayangan pohon ek yang menjulang. "Ceritakan tentang perjalananmu, Odiseus," kata Circe. "Apa yang kau lihat di Negeri Orang Mati? Apa yang telah kau pelajari di sana?" Odiseus bercerita pada Circe tentang perjalanannya ke negeri kelabu milik Hades dan Persefone, para penguasa orang mati. Ia bercerita tentang arwah-arwah yang ditemuinya, yang meminta darah agar dapat hidup kembali. "Ibuku berada di antara mereka," katanya dengan perasaan sedih. "Ia meninggal karena terlalu sedih saat menunggu kepulanganku ke Ithaca. Ia mengatakan bahwa ayah, istri, dan anakku masih menantikan kepulanganku." "Aku juga bicara dengan temanku Achilles yang terbunuh dalam Perang Troya. Aku bicara dengan Sang Raja Agung Agamemnon. Aku melihat Herkules, Sisifus, dan Tantalus. Akhirnya, aku bicara dengan sang peramal buta, Tiresias." "Dan apa yang ia katakan padamu?" tanya Circe. "Ia memberiku berbagai peringatan dan nasihat bijak," kata Odiseus. "Begini katanya, 'Dalam perjalanan pulang, kau akan melewati pulau milik Dewa Matahari. Di pulau tersebut ada banyak domba dan sapi yang bagus. Jangan biarkan anak buahmu menyentuh satu pun dari makhluk itu. Mereka sangat dipuja oleh sang dewa. Siapa pun yang mencoba menyembelih mereka akan mendapat musibah. Kau sendiri mungkin akan selamat. Namun kalau memang demikian adanya, kau akan menjadi hancur. Kau akan menemui masalah besar di rumah.'" Circe mendesah. "Ya, itu memang kata-kata yang bijaksana," ujarnya. "Tapi sebelum mencapai pulau milik Dewa Matahari, kau harus menghadapi bahaya-bahaya lain terlebih dahulu. Dengarkan aku baik-baik, Odiseus, karena aku akan memberitahukan berbagai hal yang mengerikan. Namun, kalau kau menuruti kata-kataku, kau dan anak buahmu akan berhasil menemukan jalan pulang." DUA PERINGATAN CIRCE Odiseus, apakah kau sanggup mendengar apa yang akan kukatakan?" tanya Circe. "Apakah kau siap untuk mengetahui hal mengerikan yang telah menunggu dalam perjalananmu?" Odiseus mengangguk. Hal apa lagi yang lebih mengerikan dari Cyclops, atau raksasa pemakan manusia-atau bahkan mantera dari Circe sendiri yang telah mengubah anak buahnya menjadi babi? Circe memulai ceritanya. "Segera setelah kau meninggalkan pulauku, kau akan mencapai pulau milik Sirens. Sirens adalah para wanita cantik. Dari tengah padang berbunga, mereka akan bernyanyi untuk setiap pelaut yang melewati pantai mereka." Odiseus hampir saja tertawa. "Apa yang dapat dilakukan wanita-wanita itu padaku dan anak buahku?" "Setiap pelaut yang mendengar nyanyian Sirens akan lupa pada tanah kelahiran, istri, dan anak-anaknya," kata Circe. "Nyanyian Sirens akan memikatnya sehingga mati tenggelam." Odiseus tersenyum dan menggeleng. Ia tidak percaya sebuah nyanyian bisa memiliki kekuatan yang demikian hebat. "Dengarkanlah peringatanku, Odiseus!" kata Circe. "Pantai tempat tinggal Sirens dipenuhi tulang para pelaut yang menjadi gila karena nyanyian mereka. Kau harus menyuruh awak kapalmu menyumpal telinga mereka dengan lilin dari sarang lebah, sehingga tak seorang pun dapat mendengarnya. Kalau tidak, kalian semua akan musnah!" "Aku akan memerintahkan mereka untuk melakukan itu," Odiseus setuju. "Tapi aku sendiri akan mendengarnya. Aku tidak percaya tekadku untuk pulang dapat dikalahkan oleh sebuah nyanyian." "Kalau begitu, hanya kau sendiri yang boleh mendengar nyanyian Sirens," kata Circe. "Tapi anak buahmu harus mengikat tangan dan kakimu ke tiang kapal terlebih dahulu. Kalau tidak, kau pasti akan terjun ke laut. Katakan pada awak kapalmu untuk tidak membuka ikatanmu meskipun kau memohon untuk dilepaskan. Kau mau bersumpah untuk melakukannya?" Odiseus mengangguk. "Setelah berlayar melewati Sirens, kau akan melihat dua jalur," kata Circe. "Satu jalur akan membawamu ke arah Batu Bergerak. Batu Bergerak adalah dua batu raksasa yang saling menghantam dengan keras. Tak ada satu makhluk hidup pun-bahkan burung merpati yang sedang terbang ke tempat Zeus-yang dapat melewatinya tanpa dihancurkan terlebih dahulu." "Ombak berbuih di sekitar Batu Bergerak penuh dengan bangkai kapal dan mayat para pelaut. Hanya Jason beserta awaknya yang berhasil selamat, tapi itu pun karena Dewi Hera sangat mencintainya dan membantunya agar selamat." "Aku khawatir kami tidak bisa bergantung pada perlindungan para dewa," kata Odiseus. "Katakan padaku Circe, jalur yang satu lagi itu apa?" "Jalur yang satu lagi akan membawamu menuju dua tebing curam," kata Circe. "Tebing yang satu tidak terlalu tinggi. Di sana, di bawah pohon ara raksasa, hidup seekor monster pusaran air yang mematikan, Charybdis. Kapal apa pun yang berlayar mendekatinya akan terhisap ke dasar laut yang gelap. Bahkan Poseidon sendiri tak dapat menyelamatkan para pelaut dari monster pusaran air itu." "Dan bagaimana dengan tebing yang satu lagi?" tanya Odiseus. "Bahaya apa yang menanti di sana?" "Tinggi di atas sisi tebing kedua terdapat sebuah gua yang gelap," kata Circe. "Di dalam gua itu berdiam monster Scylla. Ia mendengking seperti seekor anjing kecil. Namun, sesungguhnya ia adalah binatang buas. Bahkan para dewa dan dewi sekali pun tak bisa melihatnya tanpa merasa mual." "Mengapa ia begitu mengerikan?" tanya Odiseus. "Scylla adalah monster yang memiliki enam kepala besar nan seram," kata Circe. "Keenam mulutnya penuh gigi setajam pisau. Dalam sekejap, monster ini dapat menelan enam manusia. Sepanjang hari, Scylla duduk di dalam guanya sambil memandang dengan rakus ke arah laut dengan kedua belas matanya. Setiap kali ada kapal yang berlayar lewat, ia menyerang pelaut yang ada di geladak kapal. Dalam waktu singkat, ia merobek-robek tubuh korbannya yang malang menjadi berkeping-keping." Odiseus menatap sang penyihir. "Kalau begitu, semua pilihan yang kau berikan padaku tidak masuk akal," katanya. "Kalau kami tidak mati tenggelam karena monster pusaran air, maka kami pasti akan mati ditelan binatang buas berkepala enam." "Pilihannya adalah," kata Circe, "bila kau berlayar mendekati monster pusaran air, kalian semua akan mati. Tapi bila kau berlayar mendekati Scylla, kau hanya kehilangan enam orang." Odiseus menutup matanya. Ia telah menyaksikan puluhan anak buahnya mengalami kematian yang mengerikan. Beberapa di antara mereka dimakan Cyclops yang kejam. Yang lainnya ditombak hidup-hidup oleh raksasa pemakan manusia. Bagaimana mungkin ia sanggup melihat anak buahnya dibantai kembali? "Aku menyarankanmu untuk mengambil jalur yang melewati monster Scylla," kata Circe. "Jangan mencoba melawannya. Kau memang akan kehilangan enam orang. Namun, bila kau sanggup berlayar cukup cepat melalui monster itu, kau akan kehilangan hanya enam orang. Yang lain akan memiliki kesempatan untuk tetap hidup." Odiseus terdiam sejenak. Ia hampir tidak sanggup untuk mendengarkan nasihat Circe selanjutnya. "Bagaimana aku- yang mengetahui semua hal ini-sanggup membiarkan anak buahku mati dengan cara yang mengenaskan?" ia bertanya. "Bagaimana aku dapat memilih enam orang untuk dikorbankan?" "Bukan kau yang memilih siapa di antara mereka yang akan mati," kata Circe. "Monster itu yang akan membuat pilihan itu untukmu. Bahkan ia mungkin akan memilihmu." Odiseus menggeleng. "Tidak. Aku akan membunuhnya sebelum ia menyentuh satu pun dari kami," katanya. "Jangan terlalu sombong, Odiseus!" kata Circe. "Kau hanya manusia biasa. Tak ada manusia biasa-bahkan dirimu sekali pun-yang dapat mengalahkan Scylla. Sementara kau sibuk mengayunkan pedang, ia sudah menelan enam orang lagi." "Kau harus mendayung kapalmu dengan kecepatan penuh! Dan berdoalah untuk memohon bantuan pada ibu Scylla. Hanya ia yang dapat mencegah putrinya yang buas itu untuk tidak menelan lebih banyak orang." Sebelum Odiseus sempat mengajukan protes, Circe meneruskan peringatannya. "Bila kau dapat meloloskan diri dari monster itu, maka sudah tiba waktumu untuk menuruti peringatan Tiresias," kata Circe. "Kau akan segera mendekati pulau milik Helios, Dewa Matahari. Di sana, kau akan melihat tujuh kelompok sapi dan tujuh kelompok domba. "Ada lima puluh lima hewan dalam tiap kelompok. Mereka dijaga oleh dua peri hutan berambut pirang. Mereka adalah putri Helios. Domba dan sapi itu tak pernah beranak. Mereka juga tak bisa mati. Tapi bila salah seorang anak buahmu menyentuhnya, maka semua awak kapalmu akan musnah. Kau sendiri mungkin dapat meloloskan diri, tetapi kau akan mengalami hal-hal yang menyedihkan dan mengerikan saat kembali ke pulaumu. Istri dan anakmu juga akan menderita." Odiseus berdiri. Bayangan bahwa keluarganya mungkin terancam bahaya semakin menguatkan keinginannya untuk segera pulang. "Terima kasih atas pertolonganmu," katanya pada Circe. "Aku berjanji akan menuruti peringatanmu." "Bagus," kata wanita itu. "Aku telah mengatakan hal-hal yang perlu kau ketahui. Jalan yang akan kau tempuh memang sangat berbahaya. Namun, bila kau melakukan apa yang kukatakan, kau akan menemukan jalan pulang. Sekarang, pergilah karena fajar hampir tiba." Odiseus melihat ke sekitar hutan. Sinar berwarna merah muda keemasan yang lembut menembus masuk melalui sela-sela pohon. Angin yang bertiup sepoi-sepoi membuat dedaunan bergerak dan menari. Burung-burung mulai terdengar bernyanyi. Ketika Odiseus berbalik ke arah sang penyihir, ternyata wanita itu telah menghilang. "Circe!" ia berteriak. Penyihir itu tak menjawab. Ia telah menyelinap pergi ke arah sinar fajar yang berwarna kemerahan. TIGA NYANYIAN SIRENS Odiseus sangat bersemangat untuk segera berlayar. Pada saat ia tergesa-gesa kembali ke pantai, kata-kata Circe kembali terngiang-ngiang di telinganya. Jalan yang akan kautempuh memang sangat berbahaya. Namun, bila kau melakukan apa yang kukatakan, kau akan menemukan jalan pulang. Odiseus naik ke kapal dan memerintahkan anak buahnya untuk bertolak secepatnya. Para awak segera terjaga dan berjalan terhuyung-huyung menuju tempat dayung. Saat Odiseus hendak menaikkan jangkar, beberapa pelayan Circe muncul di pantai. Mereka membawa makanan dan anggur untuk perjalanan mereka. Orang-orang Yunani itu dengan gembira segera menaikkan pemberian itu ke kapal. Mereka mengucapkan selamat tinggal pada para pelayan dan bertolak dari pantai. Pada saat kapal itu menjauh dari pantai, Odiseus dengan sedih menatap pulau milik si penyihir misterius. Selama dua belas bulan, Circe telah mengendalikan nasibnya. Ia telah mengubah anak buahnya menjadi babi dan kemudian mengembalikan mereka menjadi manusia lagi. Ia telah menyuruhnya pergi ke Negeri Orang Mati. Ia telah memberinya berbagai ramalan dan peringatan tentang perjalanan pulang yang penuh bahaya. Bahkan saat ini, ia dapat merasakan kehadiran penyihir itu ketika angin lembut meniup kapalnya di atas ombak. Pada waktu kapalnya berlayar menuju laut lepas, Odiseus kembali teringat pada peringatan Circe dan pada bahaya yang akan segera dihadapi oleh anak buahnya. Tidak adil, pikirnya. Aku tahu bahaya yang sedang mengintai, sementara anak buahku tidak tahu apa-apa. Ia berdiri dan meminta seluruh awak kapal untuk mendengarkan penjelasannya. "Teman-teman!" katanya. "Circe telah bicara banyak denganku mengenai perjalanan kita. Sekarang, kalian juga harus mendengar peringatannya. Kita akan segera memasuki pulau kediaman Sirens. Sirens adalah wanita-wanita cantik yang beryanyi di tengah padang bunga di dekat laut." Anak buah Odiseus tertawa. Mereka tidak takut pada penyanyi-penyanyi cantik. "Dengar," kata Odiseus. "Circe telah memperingatkanku bahwa siapa pun yang mendengar nyanyian Sirens akan menceburkan diri ke laut dan mati tenggelam. Kalian harus menutup telinga sehingga tidak mendengar nyanyian yang memikat itu. Hanya aku sendiri yang boleh mendengarnya. Itu pun kalau kalian telah mengikat tangan dan kakiku pada tiang kapal, sehingga aku tak dapat lari. Bila aku memohon pada kalian untuk melepaskan ikatanku, kalian malah harus mengencangkan-nya." Saat ia sedang bicara, angin mendorong layar sehingga menambah laju kapal. Kemudian, angin tiba-tiba berhenti bertiup. Air laut menjadi tenang dan suasana menjadi mencekam. Para awak kapal saling memandang dengan perasaan takut. "Ke mana perginya angin?" salah seorang berbisik. "Bahkan laut pun tak beriak," seru yang lain. "Apa yang telah terjadi dengan angin?" "Kita pasti telah mendekati pulau yang dihuni Sirens," kata Odiseus. "Cepat!" Turunkan layar dan simpan! Kalian harus diam. Cepat." Orang-orang itu segera menuruti perintahnya. Mereka menurunkan layar dan menyimpannya di palka. Kemudian, mereka mengambil dayung dan mendayung pelan-pelan tanpa suara di air yang tenang nan mencekam. Pada saat anak buahnya sibuk mendayung, Odiseus mengambil lilin yang berasal dari sarang lebah. Ia menjemur lilin itu di bawah sinar matahari hingga menjadi lunak. Kemudian ia memotongnya menjadi beberapa bagian kecil serta membentuk lilin itu dengan jari dan membagi-bagikannya pada anak buahnya. "Pakai ini supaya kalian tidak mendengar nyanyian Sirens," katanya. "Setelah itu, ikatlah aku ke tiang kapal." Para awak segera menyumpal telinga mereka dengan lilin. Kemudian mereka mengambil gulungan tali panjang dan mengikat Odiseus ke tiang kapal. Mereka mengikat simpul-simpulnya sangat kencang sehingga tak ada seorang pun dapat melepaskannya. Kemudian, mereka segera kembali mendayung. Pada saat kapal hitam itu mendekati pantai, Odiseus mulai mendengar nyanyian yang mengalun di antara kabut. Suara nyanyian itu lebih merdu dari yang ia bayangkan-tinggi, lembut, dan berirama. Kata-kata Sirens terbawa angin yang bertiup lembut: Dengarkan, wahai Odiseus yang pemberani, Dengarkan kami! Tak seorang pun dapat melewati pulau kami tanpa tinggal sejenak Untuk mendengarkan lagu kami Siapa pun yang mendengar Akan menjadi orang yang lebih bijak, Siapa pun yang mendengar Akan menemukan rahasia para dewa. Kapal itu berlayar semakin dekat ke pantai. Di antara kabut di atas air yang tenang, Odiseus melihat dua wanita cantik di tengah padang berbunga. Dengan perasaan takjub, ia melihat kedua wanita itu memiliki sayap seperti burung. Bulu mereka menerawang di bawah cahaya matahari pagi. Ia merasakan dorongan yang kuat untuk bergabung dengan kedua makhluk cantik itu. Ia ingin melewatkan sisa hidupnya bersama mereka. Ketika kapal semakin dekat, ia melihat tumpukan tulang berwarna putih di sekitar kedua wanita itu. Ia melihat kulit manusia yang mulai membusuk. Ia tahu bahwa ia sedang memandang sisa jasad para pelaut yang telah tersihir oleh Sirens. Namun, pemandangan yang mengerikan itu tidak mampu mencegah Odiseus untuk terjun ke laut dan berenang mendekati pulau. Saat Sirens berulang kali menyanyikan lagu mereka yang lembut, Odiseus hampir menjadi gila. Ia meronta-ronta untuk melepaskan diri dari ikatannya. Anak buahnya mendayung semakin cepat. Dua di antara mereka mengikatnya dengan lebih banyak tali. Mereka mendayung semakin cepat di atas air yang tenang. Sementara mereka mendayung, lagu Sirens terdengar semakin menjauh. Odiseus berusaha mendengar nyanyian indah yang semakin menghilang itu. Hatinya menjadi sedih ketika nyanyian tersebut semakin terdengar sayup-sayup hingga akhirnya benar-benar menghilang dan suasana menjadi tenang kembali. Tiba-tiba angin bertiup. Air laut kembali beriak dan bergulung. Burung-burung camar menukik dan memekik. Rasa Odiseus berubah menjadi gembira. Ia mulai tertawa. Ia selamat! Anak buahnya selamat! Nyanyian Sirens sudah berlalu dan mereka semua selamat. Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net EMPAT MONSTER PUSARAN AIR Ketika melihat Odiseus tertawa, anak buahnya segera mencabut lilin dari telinga mereka. "Buka ikatan talinya!" perintah Odiseus. "Bebaskan aku!" Setelah anak buahnya melepaskan ikatan tali, Odiseus mengucapkan terima kasih pada mereka. "Aku sungguh-sungguh berterima kasih pada kalian semua," katanya. "Aku telah mendengar nyanyian Sirens dan selamat." Mereka kemudian meminta Odiseus untuk menggambarkan nyanyian indah itu. Namun sebelum sempat bicara, ia mendengar suara menggelegak keras di kejauhan. Setiap orang memandang ke arah datangnya suara. Laut tiba-tiba menjadi gelap dan mengerikan. Ombak besar mulai mengguncang-guncang kapal. Suara menggelegak itu bertambah keras hingga berubah menjadi auman yang memekakkan telinga. Ombak membumbung tinggi dan menghantam lambung kapal dengan kekuatan dashyat. Hanya Odiseus yang paham apa yang tengah terjadi. Kapal beserta segala isinya sedang tersedot ke dalam pusaran air Charybdis. "Dayung! Dayung dan selamatkan nyawa kalian!" kata Odiseus. Namun, para awak justru berteriak ketakutan dan menjatuhkan dayung. Kapal mereka mulai berputar-putar. Odiseus tahu bahwa untuk dapat selamat dari pusaran air, ia harus segera mengarahkan kapal ke arah gua tempat tinggal monster Scylla. Namun, ia tidak sanggup mengatakan pada anak buahnya tentang makhluk mengerikan yang sedang menunggu mereka. Sebaliknya, Odiseus bergerak ke-sana ke mari di geladak kapal untuk menyemangati setiap orang agar tidak menyerah pada rasa takut. "Kita telah mengalami berbagai cobaan berat," katanya pada mereka. "Namun, kita berhasil lolos dari Cyclops. Kita mampu bertahan dari pengaruh mantera Circe. Kita telah pergi ke Negeri Orang Mati dan kembali dengan selamat. Sekarang, ambil dayung kalian! Dayung secepat mungkin! Apa pun yang ada di depan, kita harus menghadapinya dengan penuh keberanian." Hati Odiseus terasa berat saat ia sedang bicara pada anak buahnya. Hanya ia sendiri yang tahu bahwa paling sedikit enam orang dari mereka akan segera mati secara mengenaskan karena diterkam monster Scylla. Karena tak tahu apa yang akan menimpa mereka dan tergerak oleh kata-kata sang pemimpin, orang-orang Yunani itu segera mengambil dayung mereka kembali dan mulai mendayung melawan air yang deras. Pada saat para juru mudi sedang menjaga agar kapal tetap stabil, suara raungan pusaran air menjadi semakin keras tak tertahankan. Ombak ganas mulai menghantam kapal. Saat itu juga, Odiseus melihat tebing tinggi yang curam di depannya. Tebing itu tampak seperti menembus langit- puncaknya hilang tertutup awan. Tak seorang pun mampu mendaki puncaknya karena sisi tebing curam itu selicin marmer. Di dekat puncak tebing, ada sebuah gua yang gelap. Tempat kediaman Scylla, monster berkepala enam, pikir Odiseus dengan perasaan ngeri. Sekali lagi, Odiseus memilih untuk tidak mengatakan pada anak buahnya tentang monster yang sedang menunggu di sarangnya. Bila mereka tahu, mereka pasti akan kehilangan keberanian dan berhenti mendayung-dan semua orang akan musnah tersedot pusaran air Charybdis. Lebih baik enam orang mati dibandingkan semuanya, pikir Odiseus dengan perasaan pahit. Jadi sekali lagi, ia menyemangati anak buahnya untuk mengumpulkan keberanian. "Lakukan apa yang kukatakan-percaya pada Zeus-dayung dengan segenap kekuatan kalian! Arahkan kapal ke tebing tinggi yang menjulang ke atas awan itu." Odiseus mencoba untuk bicara dengan tenang. Namun, ia sebenarnya merasa marah karena enam orang rekannya akan segera mati. Kemarahannya bertambah besar sehingga ia mengambil keputusan yang tergesa-gesa dan ceroboh: ia akan menentang nasihat Circe. Ia akan membunuh Scylla sebelum monster itu menelan seorang pun dari mereka. Ia mengencangkan baju zirahnya dan mengambil dua tombak panjang. Sambil mencengkeram kedua tombak itu erat-erat, ia menatap tebing kelabu yang bertambah dekat. Kabut menutupi sebagian mulut gua Scylla. Gua itu sangat tinggi sehingga pejuang paling hebat sekali pun tak akan mampu memanah atau melempar tombak ke sana. Odiseus harus menunggu hingga monster itu muncul. Ketika anak buahnya sedang mendayung sekuat tenaga di atas laut yang gelap, Odiseus mendengar suara seperti dengkingan anak anjing. Ia menantikan kemunculan Scylla yang memiliki enam leher panjang dan kepala seram dengan gigi-gigi yang berkilauan. Ia berdiri di bagian depan geladak kapal hitamnya dan bersiap-siap untuk membunuh Scylla. LIMA SCYLLA Pada saat para orang Yunani bergerak mendekati sarang Scylla, Odiseus menatap dengan marah ke arah gua yang tertutup kabut itu. Namun, tiba-tiba ia melupakan Scylla karena perhatiannya beralih ke air laut yang bergemuruh. Tepat di haluan kapal, monster pusaran air, Charybdis, tengah menghisap ribuan ton air laut yang berwarna hitam dan memuntahkannya kembali. Curahan air dari mulut monster itu menghujani kapal. Air laut di sekitar kapal berbuih dan bergolak seperti air yang mendidih di dalam ketel raksasa. Odiseus dapat melihat bagian tengah pusaran air itu-sebuah lubang dalam berisi lumpur hitam. Bila kapalnya menikung sedikit saja ke arah air yang berputar itu, maka mereka semua pasti akan terhisap ke dalam kegelapan di bagian tengah pusaran. Ia menjatuhkan tombaknya. "Pertahankan arah kapal!" ia berteriak ke arah anak buahnya. "Dayung sekuat tenaga menuju tebing tinggi itu!" Anak buah Odiseus berteriak ketakutan. Pada saat itulah, Scylla menjulurkan kepalanya yang seram ke luar dari gua. Dalam sekejap, leher monster berkepala enam yang panjang itu menukik ke arah laut di bawah. Ia menerkam enam prajurit Odiseus yang paling hebat dengan mulutnya. Pada saat ia mengangkat orang-orang Yunani tak berdaya itu ke udara, mereka menggeliat kesakitan seperti ikan yang tertangkap oleh nelayan raksasa. Odiseus melihat tangan-tangan dan kaki-kaki yang berlumuran darah bergelantungan dari mulut Scylla. Ia mendengar keenam anak buahnya berteriak memanggil namanya dan memohon pertolongan. Monster seram itu mengunyah semua korban tepat di depan matanya. Hal itu benar-benar merupakan pemandangan paling menyeramkan yang pernah dilihatnya seumur hidup. Odiseus kemudian sadar bahwa Circe memang benar. Ia sungguh tolol kalau berpikir akan dapat membunuh monster itu. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan anak buahnya adalah dengan mendayung kapal secepat mungkin. "Dayung! Dayung!" teriaknya. "Kalau mau selamat, dayunglah sekuat tenaga!" Orang-orang itu segera mendayung dengan kalut untuk menjauhi tebing tinggi itu. Sambil terus disemangati oleh Odiseus, mereka melaju pergi hingga akhirnya terbebas dari ancaman kedua monster laut, Scylla dan Charybdis. ENAM PULAU DEWA MATAHARI Odiseus berdiri di dekat kemudi kapal. Ia menatap ke air laut yang bergejolak di belakangnya dan terpaku ketakutan saat teringat pada pembantaian kejam yang dialami anak buahnya. Jeritan mereka masih terngiang-ngiang di telinganya. Tubuh mereka yang bergelantungan dan berlumuran darah telah terekam dalam ingatannya untuk selama-lamanya. Namun saat ini, ia sadar bahwa anak buahnya yang tersisa membutuhkannya. Karena mereka semua gemetar ketakutan, ia memutuskan untuk menyingkirkan amarahnya dan kembali memegang tampuk pimpinan. "Terus dayung!" katanya sambil menengadahkan kepala ke arah angin yang bertiup. "Jangan menengok ke belakang! Jangan pikirkan apa yang telah kalian lihat, atau kita tidak akan pernah menemukan jalan pulang!" Karena terlalu kaget untuk berbicara, orang-orang Yunani itu kembali mengangkat dayung dan-bagaikan anak kecil yang taat-mulai mendayung. Kapal hitam tersebut melaju cepat di atas air laut yang gelap. Tak lama kemudian, mereka melihat sebuah pulau yang bermandikan cahaya matahari di kejauhan. Mereka mendengar lenguhan sapi dan embikan domba. Anak buah Odiseus sangat girang saat mendengar suara-suara itu. Setelah mengalami berbagai siksaan berat, mereka membutuhkan istirahat, tempat untuk berteduh, dan makanan. "Kita akan segera menyantap daging sapi dan domba!" seru mereka. Odiseus tidak merasa gembira. Ia tahu bahwa mereka telah mendekati pulau milik Dewa Matahari. Ia ingat peringatan keras si peramal Tiresias dan nasihat Circe. "Tolong turuti kata-kataku," katanya pada mereka. "Aku tahu kalian sangat mendambakan makanan dan istirahat. Namun, ingatlah. Pulau di depan adalah milik Helios, Dewa Matahari. Kita tidak dapat mencari perbekalan di sana. Aku telah diperingatkan oleh Tiresias dan Circe. Mereka mengatakan padaku bahwa Dewa Matahari sangat memuja semua sapi dan dombanya. Bila salah seorang dari kalian berani menyentuhnya, maka kalian semua akan mati." Saat mendengar kata-kata tersebut, orang-orang Yunani itu nyaris pingsan karena letih dan kesal. "Kalau begitu, biarkan kami mati di sana saja," kata salah seorang dari mereka, "karena kami pasti akan mati di tengah laut bila tidak segera mendapatkan makanan dan tempat istirahat." "Dengarkan aku," kata Odiseus, "bila kita berhenti sekarang, semua cobaan yang kita hadapi-segala kemenangan dan kekalahan yang kita alami-akan menjadi sia-sia. Kita harus pergi dari pulau ini. Kita harus tetap mendayung." Anak buahnya mencoba untuk protes lagi. Ketika ia tetap tidak menghiraukan permohonan mereka, Erilokus-orang kedua terpenting di kapal-berteriak dengan marah padanya. "Odiseus, kau terlalu kuat untuk ukuran kami!" katanya. "Kau seolah terbuat dari besi; sedangkan kami tidak! Kami hanya manusia biasa. Orang orang ini membutuhkan istirahat setelah bekerja keras dan mereka butuh waktu untuk berkabung atas kematian teman-teman mereka. Mereka tak dapat mendayung di malam hari. Oleh karena itu, mari beristirahat di pulau ini. Kita akan memasak makanan kita sendiri dan tidur di atas pasir. Kita akan berlayar kembali saat fajar menyingsing tanpa sedikit pun mengusik sapi dan domba milik Dewa Matahari yang sangat berharga itu." Semua bersorak saat mendengar rencana yang diusulkan oleh Erilokus, tapi Odiseus semakin dipenuhi rasa takut dan ngeri. Meskipun rencana itu terdengar sangat masuk akal, ia merasa seolah-olah ada dewa yang berusaha menjebaknya. Meskipun demikian, ia tahu tak ada cara lain untuk meyakinkan anak buahnya agar tetap mendayung. "Kalian telah memaksaku untuk mengikuti kemauan kalian," katanya. "Aku tak mungkin sanggup melawan kalian semua. Namun, bila kita melakukan apa yang diminta Erilokus, kalian harus bersumpah-kalian harus berjanji untuk tidak menyentuh sapi dan domba milik Dewa Matahari, walau hanya seekor. Kalian harus puas dengan hanya menyantap makanan yang diberikan oleh Circe." Para anak buah bersumpah untuk menuruti perintah Odiseus. Mereka segera membuang sauh di sebuah teluk yang terlindung di sekitar pulau milik Helios. Di sekitar pantai, mereka menemukan mata air. Kemudian mereka mendirikan kemah dan menyiapkan makanan pemberian Circe yang terdiri dari daging, roti, dan anggur. Setelah memuaskan rasa lapar dan dahaga, mereka kembali teringat pada peristiwa buruk yang baru saja mereka alami dan menangisi kematian enam rekan seperjuangan mereka yang ditelan hidup-hidup oleh monster Scylla. Korban-korban Scylla adalah pejuang Odiseus yang terbaik dan yang paling pemberani. Orang-orang Yunani itu juga menangisi teman-teman seperjalanan mereka yang telah dibantai oleh para monster dan raksasa. Mereka berduka meratapi kehilangan yang mereka alami hingga larut malam, sampai akhirnya mereka jatuh tertidur. TUJUH BADAI Pada saat malam menjadi sangat gelap, tepat sebelum fajar menjelang, Zeus mengirim badai dashyat ke pulau milik Dewa Matahari. Angin kencang mengguncang pepohonan. Air hujan deras yang sangat dingin bagaikan ditumpahkan dari langit. Orang-orang Yunani berkumpul di dalam sebuah gua besar di dekat pantai. Mereka berkerumun sambil mendengarkan suara deru angin dan badai. Pagi-pagi sekali, ketika angin dan hujan masih terus mengamuk, Odiseus memerintahkan anak buahnya untuk menarik kapal mereka ke atas pantai dan mendorongnya masuk ke dalam gua. Setelah kapal mereka aman di dalam gua, Odiseus mengumpulkan awak kapal di sekitarnya. "Teman-teman, kita tak dapat meninggalkan pulau pagi ini," katanya pada mereka. "Jadi, aku memerintahkan kalian sekali lagi: jangan menyentuh domba-domba ataupun sapi-sapi milik Helios, Dewa Matahari. Ia dapat melihat dan mendengar semua yang terjadi di sini. Ia akan segera tahu bila kalian mencoba menyantap hartanya yang paling berharga. Apa pun yang kita butuhkan ada di dalam kapal. Begitu badai reda, kita akan segera berlayar." Semua pejuang Yunani itu berjanji untuk menaati perintah Odiseus. Namun, hari demi hari, badai dan angin yang ganas dari selatan dan timur terus menghantam pulau milik Dewa Matahari. Hari berganti menjadi minggu, dan badai masih saja tak kunjung reda. Badai tak berhenti cukup lama untuk memungkinkan para orang Yunani itu berlayar. Selama lebih dari satu bulan, Odiseus dan anak buahnya masih terdampar di pulau itu. Mula-mula mereka hanya memakan bekal yang diberikan oleh Circe. Namun ketika persediaan mereka sudah habis, para orang Yunani itu terpaksa berkeliaran di pantai yang sedang diterjang badai. Mereka menombak ikan, burung, dan makhluk apa pun yang bisa dimakan. Karena badai terus berkecamuk, Odiseus dan anak buahnya tak dapat mencari makanan yang memadai. Tiap hari jumlah makanan yang mereka santap semakin sedikit. Setiap hari mereka menjadi semakin lemah. Perasaan lapar menggerogoti perut mereka dan perasaan putus asa mulai menguasai jiwa mereka. Odiseus menjadi semakin cemas kalau-kalau anak buahnya tidak dapat mengendalikan diri. Ia khawatir perasaan lapar akhirnya akan membuat mereka menyembelih sapi dan domba milik Dewa Matahari. Dan ia tahu bahwa dewa itu dapat membinasakan mereka semua. Pagi-pagi sekali, ketika yang lain masih tertidur nyenyak, ia menyelinap ke luar gua. Ia berlari menembus badai dan berteduh di bawah bebatuan yang menonjol di dekat pantai. Ia berlutut di tanah. Ia menengadahkan tangan untuk memanggil para dewa dan dewi Gunung Olimpus. Ia memohon supaya mereka mengasihani anak buahnya: "Berilah kami kekuatan untuk mengatasi perasaan lapar dan putus asa kami," ia berdoa. "Berikanlah kami cuaca yang bagus supaya kami dapat segera berlayar. Bantulah kami mematuhi nasihat Tiresias untuk mengatasi segala godaan... " Pada saat sedang berdoa, perasaan kantuk yang hebat menguasainya. Ia memejamkan mata. Kepalanya tertunduk dan ia tertidur nyenyak tanpa bermimpi sama sekali. DELAPAN HUKUMAN PARA DEWA Odiseus terloncat bangun. Saat melihat sinar matahari pagi, ia sadar bahwa dirinya telah terlelap selama beberapa jam. Dengan perasaan cemas, ia melompat bangun dan mulai berlari kembali ke anak buahnya. Saat mendekati gua, hatinya menjadi ciut. Bau daging bakar memenuhi udara. Ia dikuasai oleh perasaan marah dan takut. Ia segera berlari ke arah gua dan mencengkeram orang pertama yang ia temui. "Apa yang telah kalian lakukan?" ia bertanya. "Apakah kalian telah mengabaikan perintahku dan melawan para dewa?" "Kami mengikuti anjuran Erilokus!" orang itu berkata. "Ia mengatakan bahwa kelaparan adalah penyebab kematian yang paling mengerikan! Ia mengusulkan untuk menyembelih sapi milik Dewa Matahari! Ia bilang kita dapat menenangkan Helios dengan membangun sebuah kuil besar untuk menghormatinya setelah kita tiba di Ithaca." Odiseus hampir menangis karena putus asa. "Kami sangat kelaparan hingga tak bisa menguasai diri," kata orang itu lagi. "Kami memotong seekor sapi dan membakarnya." Odiseus berteriak penuh kepedihan. Ia berlutut dan berteriak pada para dewa. "Zeus dan para dewa yang abadi, mengapa kalian membiarkan aku jatuh tertidur? Aku tadi memohon pada kalian untuk memberi kami kekuatan dan keberanian! Sekarang mereka telah melawan perintahku dan membunuh sapi milik Helios! Aku mohon. Kasihanilah kami! Kasihanilah kami semua!" Namun, ia tahu bahwa doanya sia-sia belaka. Kemarahan Helios pasti jauh lebih hebat dibandingkan permohonan seorang manusia biasa. Ia bisa membayangkan Dewa Matahari mengancam untuk tidak akan pernah menyinari bumi lagi kecuali bila para dewa membantunya membalas dendam. Ia berdiri dan melihat ke sekeliling gua. Pemandangan yang dilihatnya sungguh mengerikan dan sangat tidak wajar. Kulit sapi yang disembelih bertebaran di mana-mana. Di atas panggangan, daging yang dibakar mengeluarkan suara lenguhan bagai sapi yang masih hidup. Semua anak buah Odiseus ketakutan. Ketika ia menatap wajah mereka yang takut, perasaan marahnya menjadi hilang. Sudah terlambat untuk merasa marah sekarang. Sapi milik Helios telah mati dan orang-orang yang telah membantainya pasti juga akan segera mati. Odiseus tahu bahwa tak ada satu hal pun yang dapat meredakan kemarahan Dewa Matahari. Enam hari berikutnya, ketika angin masih tetap bertiup kencang di luar gua, para awak menyantap daging sapi milik Dewa Matahari. Akhirnya, pada hari ketujuh, badai tiba-tiba reda. Atas perintah Odiseus, mereka mengeluarkan kapal dari tempat perlindungan dan mendorongnya ke air. Angin barat yang lembut mengembangkan layar kapal dan sekali lagi mereka menuju pantai Ithaca. Selama beberapa saat, tampaknya kemarahan Dewa Matahari telah terlupakan. Namun begitu kapal hitam itu mencapai laut lepas, ketakutan Odiseus yang paling besar menjadi kenyataan. Helios telah berhasil membujuk para dewa untuk memusuhi mereka. Secara bersama-sama, para dewa menuntut balas. Mula-mula, Zeus yang perkasa mengirim awan badai yang gelap gulita ke atas langit sehingga laut menjadi hitam. Siang seolah-olah berubah menjadi malam. Kemudian Poseidon, Dewa Penguasa Lautan, mengirim ombak besar untuk menghantam sisi-sisi kapal. Lalu, Aeolus, Dewa Angin, mengirim angin yang menderu-deru dan bertiup ganas sehingga mematahkan tiang layar kapal. Tiang itu- beserta tali layar-jatuh menimpa juru mudi dan menghancurkan tulang tengkoraknya. Zeus mengguncang langit dengan petir dan secara bertubi-tubi melemparkan lidah petir yang berkobar. Kilat tersebut menghantam lambung kapal dan membuatnya berputar-putar di atas air. Seluruh awak kapal Odiseus terlempar dari geladak ke dalam air laut yang gelap dan bergejolak. Tanpa daya, Odiseus melihat anak buahnya terombang-ambing di antara ombak seperti burung-burung laut. Ia menyaksikan satu demi satu dari mereka tenggelam ke dasar laut. Akhirnya, semua awak kapalnya lenyap ditelan ombak. Dan Odiseus benar-benar tinggal seorang diri. SEMBILAN ODISEUS SEORANG DIRI Odiseus tinggal di atas kapal yang terombang-ambing hingga akhirnya ombak menghancurkan kapal itu. Kemudian pada saat sisa kapal menjadi hancur berkeping-keping, ia mengikat tiang layar untuk membuat rakit. Selama berjam-jam, ia terapung-apung di atas rakit sementara angin masih terus berkecamuk. Kegelapan segera menyelimuti lautan. Pada saat laut menjadi semakin tenang, ia mulai khawatir kalau-kalau rakitnya akan hanyut kembali ke tempat Scylla dan monster pusaran air, Charybdis. Sepanjang malam, ia berdoa pada para dewa supaya diselamatkan dari monster-monster itu. Namun ketika fajar menyingsing, ia melihat tebing tempat tinggal Scylla yang menjulang tinggi dan ia dapat mendengar suara gemuruh yang dahsyat dari Charybdis. Ia dapat merasakan air laut yang gelap dan hitam dari pusaran air Charybdis mulai menarik rakitnya. Doa Odiseus ternyata sia-sia. Rakitnya mulai terhisap ke dalam mulut pusaran Charybdis yang gelap dan berputar cepat. Badannya akan segera bergabung dengan para pelaut lain yang telah tenggelam dalam pusaran air yang mengerikan itu. Namun ketika ia hampir terhisap ke dalam mulut monster itu, sebuah ombak besar menyapu Odiseus" dari rakitnya. Ombak itu membawanya menjauh dari pusaran air-menuju pantai tempat Scylla tinggal. Ia melompat dari dalam air dan meraih batang pohon ara yang besar. Ia bergelantungan pada pohon itu seperti seekor kelelawar. Ia berpegangan sekuat tenaga sambil menunggu si monster pusaran air memuntahkan rakitnya ke luar. Akhirnya, rakit itu terlontar ke luar dari kedalaman yang gelap dan berputar-putar di atas ombak. Setelah rakit itu berada dalam jangkauan, Odiseus melepaskan pegangannya pada pohon dan terjun ke air. Ia meraih sisi rakit dan mengangkat badannya ke atas. Kemudian, ia mulai mendayung sekuat tenaga dengan kedua tangannya. Ia terus mendayung untuk menjauhi monster pusaran air dan menjauhi tebing tempat tinggal Scylla. Ia mendayung terus hingga mencapai jarak yang aman dari kedua monster laut yang mengerikan itu. Selama sembilan hari sembilan malam, Odiseus terkatung-katung di atas rakitnya. Ia tidak memiliki persediaan makanan maupun minuman. Ia tidak tahu rakit itu akan membawanya ke mana -atau bagaimana ia dapat kembali ke rumah. Pada saat terapung-apung di laut lepas, ia meratapi kematian seluruh rekannya. Ia sedih karena takut tak akan bertemu dengan keluarganya lagi. Akhirnya, pada hari kesepuluh, ombak menghempaskan Odiseus beserta rakitnya ke sebuah pantai di pulau yang misterius. SEPULUH KALIPSO Odiseus terbaring di pantai berpasir. Rasa letih menghunjam hingga ke tulang sumsumnya dan ia merasa amat putus asa. Ia hampir tidak tidur selama sepuluh hari. Walaupun sekarang berada dalam keadaan selamat di pantai, ia merasa tersiksa setiap kali mengingat tubuh anak buahnya yang tergantung tak berdaya di mulut Scylla yang kejam. Berulang kali ia melihat rekan-rekannya dimangsa monster atau ditelan ombak, timbul tenggelam seperti burung di lautan, lalu menghilang satu demi satu. Semua teman dan prajurit-orang-orang yang menyertainya selama dua belas tahun-telah mati sekarang. Ia telah kehilangan mereka semua. Hanya pesan terakhir Tiresias, sang peramal buta, yang tampaknya akan menjadi kenyataan: "Kau sendiri mungkin akan selamat. Namun kalau memang demikian adanya, kau akan menjadi hancur. Kau akan menemui masalah besar di rumah." Odiseus tak sanggup membayangkan bahwa Penelope, istrinya dan Telemakus, putranya mungkin tengah menderita di Ithaca. Ia benar-benar ingin melindungi mereka. Walaupun merasa putus asa, ia masih memilki keinginan kuat untuk pulang. Meski hampir buta karena rasa lelah dan sedih yang luar biasa, Odiseus bangkit berdiri dan mulai berjalan untuk mencari pertolongan. Tak lama kemudian, ia menemukan empat buah sungai kecil. Sungai-sungai itu-dengan air yang bergejolak-membelah lapangan rumput yang subur menghijau dan penuh dengan bunga violet, peterseli, dan seledri liar. Tepat di seberang sungai-sungai itu ada sebuah bukit batu besar. Di antara batu-batu bukit itu terdapat sebuah gua. Sulur anggur yang panjang merambat di mulut gua itu. Berenceng-renceng anggur matang bergelantungan dari sulur tersebut. Berbagai pohon indah tumbuh di sepanjang jalan yang mengarah ke gua itu-pohon-pohon berdaun rindang dengan aroma yang harum. Burung hantu, elang, dan gagak laut bersarang di pohon-pohon itu. Odiseus mencium bau harum yang lembut dari pohon cedar dan kayu cendana yang terbakar. Bagaikan orang sedang tersesat dalam mimpi, Odiseus berjalan perlahan dan terhuyung-huyung ke arah pintu masuk gua. Saat mengintip ke dalam, ia melihat api besar sedang menyala di perapian. Di samping perapian itu, seorang wanita cantik jelita sedang duduk di depan alat tenun. Ia tampak seperti seorang dewi yang bersinar terang. Ia menenun sambil bernyanyi dengan suara merdu. Setelah nyanyiannya usai, sang dewi berpaling ke arah Odiseus dan tersenyum. "Halo, Odiseus," sapanya. "Aku Kalipso, putri Adas. Hermes mengatakan padaku bahwa kau mungkin akan datang berkunjung." Odiseus terkejut ketika tahu bahwa sang dewi mengenal namanya. Namun, ia terlalu lelah, bahkan untuk bicara sekalipun. Lama sekali Kalipso menatap Odiseus. Lalu, ia kembali berbicara dengan suara yang tenang dan merdu. "Aku tahu apa yang telah terjadi padamu," katanya. "Anak buahmu telah menyembelih sapi milik Dewa Matahari. Karena marah, Helios mengancam untuk tidak menyinari para dewa dan umat manusia untuk selama-lamanya. Zeus dan dewa lain terpaksa membalaskan dendamnya padamu. Zeus menghancurkan kapalmu dengan halilintar dan petir serta menenggelamkan prajurit-prajuritmu ke dalam laut. Mereka tenggelam tepat di depan matamu." Odiseus mengangguk. "Kau pasti lelah, Odiseus," kata Kalipso dengan ramah. "Masuklah. Beristirahatlah di sini, di rumahku." Tanpa mengucap sepatah kata pun, Odiseus melangkah masuk ke gua milik sang dewi yang jelita. Ia terhuyung-huyung di depan perapian dan berbaring di dekatnya. Setelah melewati perjalanan yang mengerikan, ia memang menjadi hancur. Jiwa raganya terasa sakit tak terperikan. Ketika Odiseus menatap nyala api di perapian, sang dewi kembali bernyanyi. Odiseus teringat pada nyanyian Sirens. Namun, nyanyian Kalipso tidak membuatnya gila atau membuatnya ingin terjun ke laut. Sebaliknya, saat Odiseus mendengarkan nyanyian itu, sakit dan ngeri yang ia rasakan perlahan-lahan mulai menghilang. Untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu, ia merasa damai dan tenang. Odiseus memejamkan matanya. Dan dalam kehangatan gua Kalipso, ia akhirnya jatuh tertidur. TENTANG HOMER DAN ODISEI Pada zaman dahulu kala, orang Yunani Kuno percaya bahwa dunia dikuasai oleh para dewa dan dewi yang sakti. Oleh orang Yunani, cerita tentang para dewa dan dewi itu disebut mitos. Mungkin pada awalnya, mitos diceritakan untuk menjelaskan berbagai kejadian alam - seperti cuaca, gunung berapi, dan susunan bintang-bintang di langit. Mitos-mitos itu juga diceritakan ulang sebagai hiburan. Mitos Yunani pertama kali ditulis oleh seorang penyair buta bernama Homer. Homer hidup kurang lebih tiga ribu tahun yang lalu. Banyak orang percaya bahwa Homer adalah pengarang dua puisi kepahlawanan terkenal, Illiad dan Odisei. Illiad menceritakan tentang Perang Troya. Odisei menceritakan tentang kisah perjalanan panjang dari Odiseus, raja Ithaca. Cerita tersebut banyak berhubungan dengan petualangan Odiseus ketika ia berada dalam perjalanan pulang dari Perang Troya. Dalam menceritakan kisahnya, Homer sepertinya mengabungkan khayalannya sendiri dengan mitos-mitos Yunani yang secara lisan telah diwariskan dari generasi ke generasi. Sebagian kecil sejarah juga terdapat dalam kisah Homer karena terdapat bukti-bukti arkeologis yang menunjukkan bahwa kisah Perang Troya ditulis berdasarkan perang yang pernah terjadi lima ratus tahun sebelum Homer lahir. Selama berabad-abad, kisah Odisei dari Homer telah memengaruhi ke-susasteraan Barat. PARA DEWA DAN DEWI YUNANI KUNO Dewa yang paling sakti di antara seluruh dewa dan dewi Yunani adalah Zeus, Sang Dewa Petir. Dari puncak Gunung Olimpus yang berkabut, Zeus berkuasa atas semua dewa dan manusia. Para dewa dan dewi lainnya adalah sanak keluarga Zeus. Saudaranya, Poseidon adalah penguasa lautan, dan saudaranya yang lain, Hades adalah penguasa alam baka. Anak-anak Zeus - antara lain - adalah Dewa Apolo, Mars, Hermes, serta Dewi Afrodite, Athena, dan Artemis. Para dewa dan dewi dari Gunung Olimpus tidak melulu tinggal di puncak gunung. Mereka juga turun ke bumi untuk melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari umat manusia - seperti Odiseus. BEBERAPA DEWA DAN DEWI UTAMA -Zeus Dewa Petir, raja seluruh dewa -Poseidon Dewa Laut dan Sungai, saudara laki-laki Zeus -Hades Dewa Alam Baka, saudara laki-laki Zeus -Hera istri Zeus, ratu para dewa dan dewi -Hestia Dewi Perapian, saudara perempuan Zeus -Athena Dewi Kebijaksanaan, Dewi Perang, Seni dan Kerajinan Tangan; anak perempuan Zeus -Demeter Dewi Pangan dan Panen, ibu dari Persefone -Afrodite Dewi Asmara dan Kecantikan, anak perempuan Zeus -Artemis Dewi Para Pemburu, anak perempuan Zeus -Ares Dewa Perang, anak laki-laki Zeus -Apolo Dewa Matahari, Dewa Musik danPuisi -Hermes Dewa Pembawa Berita, anak laki-laki Zeus - ahli membuat tipuan -Hefaestus Dewa Pembuat Senjata, anak laki-laki Hera -Persefone istri Hades, ratu alam baka - anak perempuan Zeus -Dionisus Dewa Anggur dan Kegilaan CATATAN TENTANG ASAL-MUASAL CERITA Kisah Odisei asli ditulis dalam bahasa Yunani Kuno. Sampai saat ini, cerita Homer ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa hingga mencapai ribuan kopi. Penulis telah mempelajari sejumlah terjemahan dalam bahasa Inggris, termasuk yang ditulis oleh Alexander Pope, Samuel Butler, Andrew Lang, W.H.D. Rouse, Edith Hamilton, Robert Fitzgerald, Allen Mandelbaum, dan Robert Fagels. Odisei karangan Homer terdiri dari 24 buku. Jilid pertama dari seri ini diambil dari buku kesembilan dan kesepuluh. Cerita mengenai keikutsertaan Odiseus untuk berperang melawan Troya bersumber dari seorang penulis yang hidup pada abad kedua setelah Masehi. Nama penulis itu adalah Hyginus. Catatan tentang kuda Troya bersumber dari cerita karangan Virgil yang berjudul Aeneid. Catatan dari Apolodorus tentang jatuhnya Troya menyebutkan bahwa nama Athena terpahat di atas kuda kayu tersebut. SANG PENGARANG Mary Pope Osborne adalah pengarang buku serial paling laris yang berjudul Magic Tree House - Rumah Pohon Ajaib. Ia juga menulis sejumlah novel sejarah dan menceritakan kembali mitos-mitos serta cerita rakyat yang sudah sangat dikenal, termasuk di antaranya Kate and Beanstalk - Kate dan Pohon Kacang dan New York's Bravest - Yang Terberani dari New York. Ia tinggal bersama suaminya di New York dan Connecticut. Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net